Hikmah Tidak Samanya Pembagian Rezeki
Hendaklah kita tanamkan dan kita yakinkan diri kita bahwa Allah Azza wa Jalla memiliki hikmah yang sangat agung dalam menciptakan segala sesuatu, menetapkan takdir buat semua makhluk-Nya, memberikan kemudahan rezeki kepada sebagian orang serta menyusahkan sebagian yang lain. Allah Azza wa Jalla juga memiliki hikmah yang tinggi dalam hukum dan syariat-Nya. Kita harus meyakini bahwa seluruh hukum dan syariat-Nya adil, mengandung rahmat dan hikmah serta pasti mendatangkan mashlahat buat hamba-Nya di dunia dan akherat jika mereka melaksanakannya.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ ۚ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
“Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (Al-Maidah/5:50).
Dalam ayat ini, Allah Azza wa Jalla mengingkari semua orang yang meninggalkan hukum Allah Azza wa Jalla yang telah ditetapkan yang berisi semua kebaikan, keadilan dan mencegah atau menghalangi dari semua keburukan. Karena tidak ada seorang pun yang lebik baik hukumnya bila dibandingkan dengan hukum-hukum yang telah disyariat Allah Azza wa Jalla yang Maha Mengetahui segala segala sesuatu, Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu dan Yang Maha Adil dalam semua hukum-Nya. Termasuk dalam masalah pembagian rezeki yang berbeda kadarnya pada masing-masing makhluk-Nya.
Alhamdulillah, kita bersyukur kepada Allah yang telah memberi rezeki melimpah kepada sebagian hamba-Nya dan menahan rezeki dari sebagian yang lainnya. Apabila ada salah seorang diantara kita yang diberi kelonggaran rezeki, maka kewajibannya adalah bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan melaksanakan apa yang menjadi kewajibannya terkait rezeki yang Allah Azza wa Jalla anugerahkan tersebut. Sedangkan, bagi seorang hamba yang disempitkan rezekinya atau rezekinya agak seret, maka dia wajib bersabar atas takdir Allah tersebut dan terus berusaha serta ber-husnuz zhan (berprasangka baik) kepada Allah Azza wa Jalla bahwa apa yang Allah Azza wa Jalla tentukan untuk dirinya adalah yang terbaik karena Allah Maha Mengetahui kemaslahatan mereka dan Allah Maha Penyayang kepada mereka melebihi sayangnya seorang ibu kepada anak-anaknya.
Allah Yang Maha Tahu dan Yang Maha Bijaksana telah membagi-bagi rezeki kepada para hamba-Nya. Tentu itu demi suatu hikmah yang sangat indah dan agung.
Diantaranya agar para hamba-Nya mengetahui dan menyadari bahwa Allah Azza wa Jalla yang mengatur semua perkara dan ditangan-Nya pengaturan langit dan bumi. Allah Azza wa Jalla memberikan kelonggaran untuk yang ini dan menyeretkan untuk yang itu tanpa ada yang mampu menghalangi qadha dan takdir-Nya:
لَهُ مَقَالِيدُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۖ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَشَاءُ وَيَقْدِرُ ۚ إِنَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
“Kepunyaan-Nyalah perbendaharaan langit dan bumi. Dia melapangkan rezeki bagi siapa yang dikehendaki-Nya dan menyempitkan(nya). Sesungguhnya Dia Maha mengetahui segala sesuatu.” (Asy-Syura/42:12).
Dengan menyadari ini, si kaya tidak akan merasa sombong, congkak dan tidak akan bakhil, sebaliknya si miskin juga tidak merasa rendah diri. Karena kedudukan di sisi Allah Azza wa Jalla bukan diukur berdasarkan harta yang melimpah.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ
“Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.” (Al-Hujurat/49:13)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ اللهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوْبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ
“Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla tidak melihat kepada bentuk rupawan kalian juga tidak melihat kepada harta benda kalian, akan tetapi Allah Azza wa Jallamelihat kepada amal perbuatan dan hati kalian.”
Diantara hikmah yang terkandung dalam pembagian rezeki dengan kadar yang berbeda-beda adalah agar manusia bisa mengambil pelajaran dan mengetahui bahwa kehidupan akhirat juga akan berbeda-beda tingkatnya sebagaimana kehidupan dunia.
Di dunia ini, ada yang tinggal dalam istana megah dan kokoh serta mengendarai kendaraan mewah dengan harta fantastis. Kehidupannya bergelimang harta. Dia dan semua anggota keluarga juga anak-anaknya hidup senang, bahagia dan berkecukupan tak kurang satu apapun.
Ada juga yang kehidupannya menengah, namun ada juga yang tidak memiliki tempat tinggal, tidak mempunyai harta, tidak beristri, bahkan dia hidup sebatang kara. Inilah kehidupan di dunia dengan berbagai tingkatan. Begitu pula kehidupan akhirat, Allah Azza wa Jalla mengingatkan bahwa perbedaan derajat di akhirat akan lebih agung dan kekal lagi.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
انْظُرْ كَيْفَ فَضَّلْنَا بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ ۚ وَلَلْآخِرَةُ أَكْبَرُ دَرَجَاتٍ وَأَكْبَرُ تَفْضِيلًا
“Perhatikanlah bagaimana Kami lebihkan sebagian dari mereka atas sebagian (yang lain). Dan pasti kehidupan akhirat lebih tinggi tingkatnya dan lebih besar keutamaannya.” (Al-Isra’/17:21).
Dalam ayat di atas, dengan sangat tegas, Allah Azza wa Jalla menyebutkan bahwa kehidupan akhirat itu jauh lebih tinggi derajatnya dan lebih besar keutamaannya. Oleh karena itu, seyogyanya, kita berlomba-lomba menggapai derajat tertinggi dan kehidupan yang kekal tersebut. Itu lebih baik dan lebih bagus buahnya.
Diantara hikmah pembagian rezeki yang tidak sama itu adalah agar yang kaya mengetahui nilai nikmat yang Allah karuniakan kepadanya dan bersyukur kepada-Nya dengan menunaikan apa yang menjadi kewajibannya, baik kewajiban kepada Allah Azza wa Jalla maupun kewajiban kepada sesama manusia. Dengan demikian dia akan masuk kedalam golongan orang-orang yang bersyukur. Sehingga kekayaan yang dia miliki menjadi kebaikan baginya di dunia dan akhirat.
Diantara hikmahnya adalah agar orang yang fakir menyadari dan mengimani bahwa kefakiran yang Allah timpakan kepadanya adalah sebentuk ujian untuk dirinya, akankah dia bersabar atau bagaimana? Jika dia bersabar dalam menghadapi ujian itu, maka dia meraih derajat orang-orang yang bersabar dan orang-orang yang bersabar mendapatkan balasan yang sempurna di akhirat.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ
“Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (Az-Zumar/39:10).
Disamping itu, dia akan terus memohon kepada Rabbnya agar diberi kemudahan dan kelonggaran dalam perjalanan hidupnya.
Diantara hikmah lainnya adalah agar kemaslahatan bisa terealisasi, baik dalam masalah agama maupun dunia. Seandainya Allah Azza wa Jalla menganugerahkan rezeki yang melimpah kepada seluruh makhluk-Nya, pasti mereka akan berbuat kerusakan di muka bumi dengan bersikap lancang, kufur, dan berbagai kerusakan lainnya.
Seandainya Allah seret rezeki pada seluruh hamba-Nya pasti interaksi antar sesama akan rusak dan sendi-sendi kehidupan mereka rusak.
Seandainya, semua manusia berada dalam taraf ekonomi yang sama, tentu mereka tidak bisa saling menyuruh untuk memenuhi kebutuhannya, tidak ada yang mau bekerja untuk membuat produk tertentu dan tidak ada yang tertarik untuk memiliki skill tertentu. Karena semua mereka berada pada level yang sama.
Jika seperti ini keadaannya, dimanakah sifat rahmat dan kasih orang kaya kepada orang fakir? Dimana pula kedudukan agung yang bisa diraih dengan cara menginfakkan harta terutama kepada kerabat?
Ini jika semua sama dalam taraf ekonominya.
Inilah beberapa hikmah, mengapa Allah Azza wa Jalla Yang Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui membagi rezeki diantara para hamba-Nya dengan pembagian yang tidak sama.
Allah Azza wa Jalla memerintahkan kepada yang kaya untuk bersyukur dan berinfak dan memerintahkan kepada yang fakir untuk bersabar dan memohon kelonggaran kepada Allah Azza wa Jalla Yang Maha Pemurah dan Maha Pemberi rezeki.
Singkat kata, sebagai kaum Muslimin, kita wajib ridha Allah sebagai Rabb kita dan wajib ridha dengan pembagian rezeki yang Allah Azza wa Jalla tetapkan dan wajib ridha dengan takdir-Nya serta wajib ridha Allah sebagai pemutus semua urusan kita. Kita wajib mengimani bahwa semua itu adalah hikmah dan rahasia yang manfaatnya kembali kepada makhluk.
***
Diadaptasi dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XVIII/1436H/2015M.